Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain yang ditekenMenteri Muhaimin Iskandar beberapa waktu lalu akhirnya resmi diberlakukan sejak Senin (19/11). Seiring dengan diundangkannya peraturan itu di Berita Negara Nomor 1138 Tahun 2012 oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin.
Dilihat dari jumlah bab dan pasal yang diatur, Permen yang diberi nomor 19 Tahun 2012 ini memang terbilang ringkas. Hanya terdiri dari enam bab dan 36 Pasal.
Tapi jangan salah. Walau isinya ringkas, Permen ini membuat dua peraturan menteri yang lain menjadi tidak berlaku. Yaitu Keputusan Menakertrans No 220 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain dan Keputusan Menakertrans No 101 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.
Bicara soal substansi, Permen No 19 ini ternyata banyak mengubah pengaturan soal syarat dan tata-cara penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain yang diatur dalam Kepmen 220 dan Kepmen 101. Secara umum, Permen No 19 ini terlihat lebih memperketat keberadaaan perusahaan outsourcing.
Sebelumnya, untuk mengingatkan, UU Ketenagakerjaan membedakan mekanisme penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain menjadi dua cara. Pertama, dengan pemborongan pekerjaan. Dan kedua adalah lewat penyediaan jasa pekerja/buruh. Dalam praktik, cara yang kedua yang biasa dikenal dengan outsourcing.
Sebut saja soal syarat bentuk badan hukum perusahaan outsourcing. Bila Kepmen 101 menyatakan perseroan terbatas (PT) dan koperasi boleh dipilih sebagai bentuk badan hukum perusahaan outsourcing, tidak demikian dengan Permen No 19 yang hanya membolehkan perusahaan outsourcing berbentuk PT. Boleh jadi, koperasi memang tidak layak menjadi pelakuoutsourcing.
Masih soal ‘baju perusahaan’, Permen No 19 ini juga bakal melarang perusahaan pemborong pekerjaan yang tidak berbadan hukum. Berbeda dengan Kepmen 220 yang masih memberikan keleluasaan kepada perusahaan yang tidak berbadan hukum sepanjang bergerak di bidang pengadaan barang, atau jasa pemeliharaan dan perbaikan.
Hal lain yang diatur dalam Permen No 19 ini adalah kewajiban mendaftarkan perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja kepada instansi ketenagakerjaan setempat. Praktik sebelumnya, kewajiban pendaftaran ini hanya berlaku untuk penyediaan jasa pekerja.
Perbedaan lain yang mencolok adalah soal izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja. Kepmen 101 menyatakan izin operasional diberikan untuk jangka waktu lima tahun dan berlaku di seluruh Indonesia. Sedangkan Permen No 19 hanya tiga tahun dan hanya berlaku di satu provinsi.
Untuk melindungi pekerja outsourcing, Permen ini juga mencantumkan hak apa saja dari pekerja outsourcing yang harus dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa. Semisal hak cuti, jaminan sosial, tunjangan hari raya, hingga hak mendapatkan ganti rugi bila diputuskan hubungan kerjanya oleh perusahaan outsourcing.
Menarik untuk melihat bagaimana respon pengusaha –baik perusahaan outsourcing maupun pengguna outsourcing- atas terbitnya peraturan ini. Dan tentunya tanggapan para pekerja yang selama ini selama ini menganggap outsourcing seperti perbudakan modern.
Sumber : www.hukumonline.com
Dilihat dari jumlah bab dan pasal yang diatur, Permen yang diberi nomor 19 Tahun 2012 ini memang terbilang ringkas. Hanya terdiri dari enam bab dan 36 Pasal.
Tapi jangan salah. Walau isinya ringkas, Permen ini membuat dua peraturan menteri yang lain menjadi tidak berlaku. Yaitu Keputusan Menakertrans No 220 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain dan Keputusan Menakertrans No 101 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.
Bicara soal substansi, Permen No 19 ini ternyata banyak mengubah pengaturan soal syarat dan tata-cara penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain yang diatur dalam Kepmen 220 dan Kepmen 101. Secara umum, Permen No 19 ini terlihat lebih memperketat keberadaaan perusahaan outsourcing.
Sebelumnya, untuk mengingatkan, UU Ketenagakerjaan membedakan mekanisme penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain menjadi dua cara. Pertama, dengan pemborongan pekerjaan. Dan kedua adalah lewat penyediaan jasa pekerja/buruh. Dalam praktik, cara yang kedua yang biasa dikenal dengan outsourcing.
Sebut saja soal syarat bentuk badan hukum perusahaan outsourcing. Bila Kepmen 101 menyatakan perseroan terbatas (PT) dan koperasi boleh dipilih sebagai bentuk badan hukum perusahaan outsourcing, tidak demikian dengan Permen No 19 yang hanya membolehkan perusahaan outsourcing berbentuk PT. Boleh jadi, koperasi memang tidak layak menjadi pelakuoutsourcing.
Masih soal ‘baju perusahaan’, Permen No 19 ini juga bakal melarang perusahaan pemborong pekerjaan yang tidak berbadan hukum. Berbeda dengan Kepmen 220 yang masih memberikan keleluasaan kepada perusahaan yang tidak berbadan hukum sepanjang bergerak di bidang pengadaan barang, atau jasa pemeliharaan dan perbaikan.
Hal lain yang diatur dalam Permen No 19 ini adalah kewajiban mendaftarkan perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja kepada instansi ketenagakerjaan setempat. Praktik sebelumnya, kewajiban pendaftaran ini hanya berlaku untuk penyediaan jasa pekerja.
Perbedaan lain yang mencolok adalah soal izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja. Kepmen 101 menyatakan izin operasional diberikan untuk jangka waktu lima tahun dan berlaku di seluruh Indonesia. Sedangkan Permen No 19 hanya tiga tahun dan hanya berlaku di satu provinsi.
Untuk melindungi pekerja outsourcing, Permen ini juga mencantumkan hak apa saja dari pekerja outsourcing yang harus dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa. Semisal hak cuti, jaminan sosial, tunjangan hari raya, hingga hak mendapatkan ganti rugi bila diputuskan hubungan kerjanya oleh perusahaan outsourcing.
Menarik untuk melihat bagaimana respon pengusaha –baik perusahaan outsourcing maupun pengguna outsourcing- atas terbitnya peraturan ini. Dan tentunya tanggapan para pekerja yang selama ini selama ini menganggap outsourcing seperti perbudakan modern.
Sumber : www.hukumonline.com